Permasalahan Papua dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
sudah terjadi sejak permulaan integrasi Papua ke dalam NKRI. Proses
integrasi yang dipaksakan melalui penentuan pendapat rakyat (PEPERA)
pada tahun 1969 sesungguhnya tidak adil karena hanya melibatkan 1.045
orang. Dari jumlah tersebut tidak semuanya orang Papua. Bahkan ironinya,
hampir semua peserta PEPERA dikondisikan untuk memilih bergabung dengan
NKRI.
Setelah diintegrasikan fase berikutnya adalah operasi
militer dan intelejen untuk menghancurkan rakyat Papua yang berideologi
lain. Kelompok-kelompok masyarakat yang mencoba menyuarakan keadilan di
atas tanah Papua dihancurkan secara sistematis. Atas nama keutuhan NKRI,
pembunuhan, penghilangan dan pemerkosaan terhadap rakyat Papua
dilegalkan.
Fase selanjutnya adalah eksploitasi sumber daya
alam dan transmigrasi. Sumber daya alam, terutama hasil hutan, hasil
laut, tambang dan minyak bumi dikeruk. Pada waktu yang bersamaan, dengan
alasan demi pemerataan penduduk, ribuan orang didatangkan ke tanah
Papua melalui program transmigrasi.
Eksploitasi sumber daya
alam di tanah Papua terus berlangsung, sementara manusia Papua
terabaikan bahkan terlupakan. Akibatnya, setelah 43 tahun (1969-2013)
manusia Papua tetap terbelakang. Bahkan penduduk dan orang Papua yang
berdiam di tanah ini tercatat sebagai manusia termiskin di Indonesia.
Ironi yang tidak dapat diterima dengan akal sehat, sebab Papua terkenal
sebagai pulau terkaya di Indonesia bahkan di seantero jagad, tetapi
penduduknya hidup miskin.
Untuk mengukur tingkat kesejahteraan
rakyat Papua, kita tidak perlu menggunakan aneka teori sosial, sebab ke
mana mata memandang, pasti dijumpai orang Papua yang hidup melarat.
Perumahan kumuh, tanpa fasilitas yang memadai, pendidikan dan kesehatan
yang terbelakang. Akibatnya mata rantai kebodohan terus berlanjut. Dan
lebih tragis lagi kondisi kesehatan orang Papua yang sangat
memprihatinkan. Kehidupan ekonomi orang Papua berada jauh di bawah kaum
imigran yang menguasai semua sektor ekonomi.
Jurang
kesenjangan sosial dan ekonomi yang sangat dalam tentu menimbulkan
gesekan yang sering digiring ke ranah politik. Setiap kali orang Papua
mengekspresikan kekecewaan atas berbagai bentuk ketidakadilan yang
dialaminya, selalu diberi stigma makar.
Orang Papua pantas
berteriak dan memperjuangkan nasibnya karena setelah sekian puluh tahun
digabungkan dengan Indonesia, mereka tidak mengalami kemajuan apa pun.
Pembangunan yang dilakukan di Papua dinikmati oleh kaum imigran yang
tinggal di kota-kota di Papua. Sementara orang Papua yang semakin
termarginal tidak menikmati apa pun.
Rasa tidak puas akan
ketimpangan pembangunan dan lambannya upaya mengentaskan kemiskinan bagi
orang Papua menimbulkan aneka gejolak. Namun, sayangnya, setiap gejolak
yag muncul selalu ditafsirkan sebagai upaya untuk memisahkan diri dari
NKRI. Entah mengapa, Indonesia selalu takut dan alergi terhadap tuntutan
orang Papua untuk memisahkan diri? Kalau pembangunan berjalan lancar,
kalau saja orang Papua diperhatikan, kalau saja derajat dan martabat
hidup orang Papua dihormati, tentu tidak ada suara-suara
merdeka/referendum. “Ngapaian orang Papua berteriak merdeka, kalau
mereka sudah sejahtera?” Justru keterpurukan hidup yang mereka alami
selama ini mendorong mereka untuk memperjuangkan nasibnya yang tidak
kunjung berubah.
Sampai saat ini, pembangunan untuk Papua belum
memadai. Aneka kebijikan dan peraturan yang dibuat untuk
menyejahterakan orang Papua belum mampu membawa perubahan bagi hidup
orang Papua. Mengapa? Hal yang tidak dapat disangkal bahwa tidak ada
kepercayaan dan penghargaan terhadap martabat manusia Papua sebagai
pemilik sah atas tanah Papua. Orang Papua selalu dicurigai. Tidak ada
lagi kepercayaan terhadap orang Papua, sebab setiap orang Papua yang
memiliki pikiran dan tindakan kritis selalu dicap sebaga separatis.
Bentuk kecurigaan pemerintah Republik Indonesia terhadap orang Papua
termanifestasi dalam dan melalui kehadiran aparat militer yang tidak
dapat dibendung. Di mana-mana di tanah Papua dibangun pos-pos militer
untuk mengawasi gerak hidup orang Papua. Akibatnya, orang Papua tidak
merasa nyaman di atas tanahnya sendiri.
Kita patut merenung:
“Orang Papua sudah hidup menderita, selalu diawasi, dan diberi aneka
stigma negatif. Bagaimana rasanya hidup menderita di atas tanah yang
kaya raya? Bagaimana menyaksikan orang lain hidup kaya raya sementara
para pemilik tanah ini hidup melarat?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar